.:[Double Click To][Close]:.

Monday, October 18, 2010

Pertarungan Para Dewa Thrash Metal

Referensi : http://hiburan.kompasiana.com/group/musik/2010/09/06/pertarungan-para-dewa-thrash-metal/
Jumat 3 september 2010 tak akan terlupakan bagi pecinta metal di kota Seattle, Amerika Serikat. Tiga dewa thrash metal legendaris, Slayer, Megadeth dan Testament tampil satu panggung. Terakhir mereka tampil bersama adalah tahun 1991, dan jutaan penggemarnya harus menunggu hampir 20 tahun. Layaknya perputaran mode, trend musik kembali berputar 20 tahunan. Grup musik rock dan metal yang berjaya era 1980-1990an kembali menjadi pahlawan.  Data ASCAP menunjukkan penjualan cd lawas band metal kembali melonjak. Label pun merilis ulang album metal 20 tahun lalu.  Langkah selanjutnya gampang ditebak. Para dewa metal menggelar tour untuk mendukung penjualan album daur ulang mereka. Mengusung nama The American Carnage tour,  tiga grup yang ikut membangun fondasi thrash metal menggelar konser reuni. Hanya ada empat  nama band besar di sejarah thrash metal mereka adalah,  Metallica, Slayer, Megadeth dan Anthrax. Dua diantara mereka malam ini berada di gedung “Wamu Theatre” dan saya ( greg ) bersama lima ribu penonton lain menjadi saksi kedahsyatan para dewa metal ini. Dengan tiket $40 penonton disuguhi perang  antar dewa yang sebenarnya.
Saya telah berkali-kali menonton konser rock di Seattle, namun pemandangan kali ini cukup unik. Nyaris tidak ada penonton ABG, rata-rata seumuran saya semua, sekitar 40 tahunan. Bahkan ada pasangan suami istri membawa anaknya yang masih SD!! Kali ini saya mencoba tantangan baru. Menonton di kelas festival, bukan di tribun. Saya akan ber-moshing- ria bersama ribuan bule bertubuh kekar penuh tato lainnya.
(
Testament tak bisa memenuhi permintaaan penonton :(
Konser dimulai tepat pukul delapan malam. Thrasher veteran San Fransisco, Testament, membuka dengan lagu lawas mereka, The Preacher. Serentak  lima ribu penonton berteraik dan lautan manusia bergerak seperti ombak ganas. Lingkaran moshing terbentuk di beberapa tempat. Ratusan penonton saling menabrak satu sama lain diiringi gebrakan musik keras. Testament kembali tampil dengan gitaris jenius mereka Alex Scholnik. Bersama ritem gitar Eric Peterson, Alex menampilkan kecepatan jarinya di Gibson Les Paul-nya. Kontras dengan personil Testament lain yang bertubuh tinggi besar dan berambut gondrong, Alex tampil elegan dan beberapa rambutnya tampak memutih. Namun kocokan gitar dan jari-jarinya yang seakan melayang di atas fret, menghapus imej-nya sebagai “orang tua”. Murid Joe Satriani ini benar-benar brilian dalam mengisi solo gitar.
Performa Chuck Billy pun menyihir penonton. Berusia setengah abad bukan alasan bagi vokalis bertubuh gorila ini menyanyi nada tinggi maupun growl khas thrash. Selama 40 menit, gedung Wamu Theatre bergoyang dihantam lagu keras Testament seperti Practice What You Preach, Electric Crown, Soul of Black dan lainnya. Testament menutup konsernya selama 40 menit dengan lagu lawas mereka, Over The Wall. Teriakan penonton “We want fxxkin more” bergema, namun Chuck Billy dengan hormat berkata, “Sorry, it’s all the time they gave us.” Itulah perilaku para dewa legendaris. Saling menghormati band lain dan tidak merusak jadwal pertunjukan.
Para teknisi bergegas bersiap dan konser istirahat selama duapuluh menit, Band berikutnya merupakan favorit saya sejak pertama mendengarnya 1987 lalu. Lampu kembali padam dan terdengar intro musik khas horor. Sesaat kemudian tirai terbuka dan tampak pendekar thrash sepanjang masa, Dave Mustaine, dengan backdrop bertuliskan Megadeth di latar belakang. Ini kali ketiga saya menonton konser Megadeth di Amerika, namun saya belum pernah melihatnya tampil bersama grup thrash yang sekelas seperti sekarang.
Dave Mustaine membuktikan dirinya adalah Zeus-nya thrash metal
Dave Mustaine membuktikan dirinya adalah Zeus-nya thrash metal
Dave membuka dengan lagu dari album anyarnya Endgame, disusul lagu ‘kenangan’ seperti Devil Island, High Speed Dirt dan Symphony of Destruction. David Elefson, basist yang sempat keluar dari Megadeth, telah kembali. Namun saya tetap kehilangan gitaris Marty Friedman dan drumer Nick Menza. Untungnya penampilan Chris Broderick  mampu menghilangkan kenangan Friedman. Chris, mantan gitaris Nevermore ini jarinya berlari sekencang Friedman.
Dave Mustaine sadar, 90 persen penonton adalah mereka yang datang di konser Megadeth 20 tahun lalu. Mustaine pun mengejutkan mereka dengan membawakan semua album Rust In Peace dari lagu pertama hingga terakhir secara berurutan!!! Lautan moshing makin besar, terus bertambah dan lebih brutal. Ribuan penonton termasuk saya, seakan kesurupan mendengar Holy War, Hangar 18, Five Magics hingga Polaris dibawakan. Selama 90 menit Megadeth tampil total. Dave Mustaine kembali membuktikan dirinya adalah Zeus-nya thrash metal (seperti yang selalu diumbar saat wawancara).
Ketika lampu gedung kembali dinyalakan untuk istirahat selama setengah jam, tampaklah pemandangan khas metal sejati. Beberapa penonton mengobrol santai dengan darah bercucuran di wajah mereka. Bahkan ada yang ditandu karena kakinya terluka saat moshing. Namun sama  sekali tidak ada perkelahian atau keributan. Semua menikmati dan menghormati penampilan para dewa.
Suara Tom Arraya pun lebih 'menyeramkan'
Suara Tom Arraya pun lebih 'menyeramkan'
Tiba-tiba lampu kembali padam. Tirai raksasa hitam menampilkan silouet Pentagram, bintang terbalik yang sering dikonotasikan dengan setan. Intro lagu World Painted Blood terdengar dan para penonton kembali terbakar. Slayer, dewa black thrash metal menggempur dengan kekuatan penuh. Duet gitaris Jeff Hanneman dan Kerry King benar-benar menakjubkan. Tidak ada celah kosong saat salah satu dari mereka mengisi solo gitar. Suara Tom Arraya pun lebih ‘menyeramkan’. Beda dengan vokalis death metal lain yang suaranya dibuat-buat agar ‘growl’, Arraya bernyanyi dengan sedikit menggeram tanpa dibuat-buat. Benar-benar cocok dengan setelan gitar Slayer yang turun setengah oktaf.
Dari ketiga band yang tampil, saya menilai permainan Dave Lombardo adalah yang terbaik. Drummer Slayer ini tak cuma piawai memainkan double pedal namun ia mengisi lagu-lagu Slayer yang monoton dengan ropelan drum rumit layaknya drumer jazz legendaris, Billy Cobham. Lombardo menjaga tempo sekaligus memodifikasinya agar ciri khas Slayer tidak mungkin ditiru. Hampir dua jam Slayer menggebrak Wamu Theatre dengan 30-an lagu mereka. Sama dengan Megadeth, Slayer memainkan lagu dari album  lawas seperti Reign in Blood, Black Magic, Season in the Abyss dan tentunya South Of Heaven. Seperti biasa, Slayer menutup konser dahsyat ini dengan lagu kebangsaan para thrash metal dunia, Angel Of Death. Lagu yang mengisahkan pembantaian Yahudi saat perang dunia kedua itu sontak membuat penonton makin liar. Mereka sadar inilah saatnya menghabiskan adrenalin. Ribuan penonton saling berlarian menabrakkan diri, menari layaknya Indian bersiap perang dan beberapa diantaranya mencoba naik panggung meski gagal.
Lampu gedung kembali menyala. Puluhan orang terduduk lemas. Semua tertawa puas dengan darah mengucur akibat moshing. Saya pun bernafas panjang, sembari tersenyum. Duapuluh tahun saya menunggu para dewa metal ini tampil bersama.  Dan ketiganya membuktikan tidak ada yang mampu menggeser singgasana mereka.
laporan langsung, Greg dari Seattle, Amerika Serikat